Kamis, 25 Februari 2010

Berbagai Masalah Perekonomian di Indonesia


A. Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Dalam menghadapi keadaan Indonesia sekarang, percaturan perang didahulukan dan pembangunan ekonomi seolah-olah dikesampingkan sebagai sesuatu yang kurang urgensinya. Maka tidak mengherankanlah bahwa juga di kalangan khalayak-ramai tidak ada bayangan yang terang tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi, dan apa yang harus dikerjakannya sebagai sumbangan untuk pembangunan ekonomi ini. Aktivitasnya tidak kurang, di dalam lingkungannya sendiri, akan tetapi' sering keaktifan itu timbul dari kekecewaan terhadap usaha pembangunan pemerintah di daerahnya, sehingga ia merasa terpaksa mengambil inisiatif sendiri. Bagaimanapun juga, umumnya tidak ada perasaan pada khalayak-ramai bahwa ia menjadi bagian dari suatu usaha bersama yang meliputi baik pemerintah maupun dirinya sendiri untuk membangun negara kita.


Oleh sebab itu maka timbullah kesan umum bahwa pekita
mbangunan ekonomi ini seolah-olah setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak dapat berangkat dan macet. Padahal, pembangunan ekonomi itu seharusnya merupakan penjelmaan suatu pergerakan rakyat yang dibimbing secara sadar oleh Pemerintah.

Sebabnya, bermacam-macam. Ada sebab-sebab yang harus dicari di bidang politik, oleh sebab memang ada berbagai-bagai syarat politik yang harus dipenuhi dulu sebelum suatu bangsa dapat menempuh jalan ke arah pembangunan ekonominya. Menurut pandangan kami beberapa sebab yang penting, di luar lapangan politik ini, ialah kekurangan pengetahuan tentang arti pembangunan ekonomi untuk negara kita, sehingga umumnya kurang dirasakan urgensinya. Di samping itu ada juga kekurangan pengetahuan tentang apa yang dituju dengan pembangunan ekonomi ini di dalam akibat-akibatnya untuk kehidupan masing-masing orang di dalam lingkungannya sendiri. Ada juga kekuranginsafan bahwa proses pembangunan ekonomi ini ialah suatu proses yang meliputi kehidupan kita di dalam segala lapangan. Begitu pun kita belum secara sistematis menghadapi rintangan-rintangan di dalam masyarakat kita sendiri dalam menempuh jalan ke arah pembangunan ekonomi ini, yang berakar pada kebudayaan kita sendiri. Oleh sebab itu perlu kita tinjau masalah pembangunan ekonomi di dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa kita, atau dengan kata-kata lain, dalam rangka kebudayaan kita.

Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa masalah pembangunan ekonomi di Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. Kemiskinan dan Keterbelakangan

Faktor yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di Indonesia seringkali karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural disebut "kemiskinan struktural". Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal.

Persentasi Kemiskinan di Indonesia

Persentasi kemiskinan di Indonesia sejak tahun 2001 terus mengalami penurunan hingga tahun 2005, kemudian meningkat kembali di tahun 2006 an kembali turun di tahun 2007.
Angka prosentase kemiskinan di Indonesia berturut-turut dari 2001 hingga 2007 adalah 18,40%, 18,20%, 17,42%, 16,66%, 15,97%, 17,75% dan 16,58%.

Secara umum persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 yaitu sebesar 1,82%.

Persentasi kemiskinan di Indonesia sejak tahun 2001 terus mengalami penurunan hingga tahun 2005, kemudian meningkat kembali di tahun 2006 an kembali turun di tahun 2007.
Angka prosentase kemiskinan di Indonesia berturut-turut dari 2001 hingga 2007 adalah 18,40%, 18,20%, 17,42%, 16,66%, 15,97%, 17,75% dan 16,58%.

Secara umum persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 yaitu sebesar 1,82%.

Kemiskinan di Indonesia tampak pada gambar di bawah ini :




Faktor kemiskinan berpengaruh besar pada kurangnya dukungan terhadap pembangunan ekonomi yang berhasil. oleh karena iu, inisiatif pemerintah untuk mengentaskan penduduk miskin yang jumlahnya masih relatif besar tersebut adalah relevan.
Inisiatif pemerintah ini diwujudkan dalam Intruksi Presiden ( INPRES ) tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan atau INPRES Desa Tertinggal atau IDT dan P3DT untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP ) untuk mengentaskan kemiskinan di perkotaan serta program Jaring Pengaman Sosial ( JPS ) untuk mengatasi masalah kemiskinan yang diakibatkan karena krisis moneter.

2. Pengangguran



Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997
akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia
khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai
reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16
bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya
menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja
dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat,
Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir
Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana
sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian
yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap
sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang.
Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran
jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita
mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5
sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi
negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%.

Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap
85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996
perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar
karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998,
pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun
1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang
diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter
di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN,
Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan
asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan
berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan.

Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang
semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran
atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta
orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97
juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran
ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001
mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan
ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah
perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna
menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta
untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.

Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita
memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6
persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru.
Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu
angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang
rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk
memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita
terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk
mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam
negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini
bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah
dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah
(undervalue) terhadap dolar.
Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah
jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang
semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa,
dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi
yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor
asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah
menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya
akan berakibat capital outflow.

3. Berbagai Ketimpangan Hasil Pembangunan

Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya; sumberdaya manusia,, fisik, teknologi dan capital. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu ketimpangan pembangunan. Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era desentralisasi diterapkan di Indonesia. Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sector pembangunan.

Yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan

B. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia

Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya.


Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.

Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan bumi Indonesia yang sangat kaya, merupakan bahan (ingredient) yang utama untuk membuat negara menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini terlihat pada hasil hasil Pelita III sampai dengan Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 7% - 8% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk yang tinggi. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat julukan “Macan Asia”.

Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan kemiskinan. Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan pada menjadi 14% pada tahun 2004. Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.

Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu :

1.Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.

2.Indeks atau Rasio Gini
Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:

1 n n
Gini = ---------- å å ½yi - yj ½
2n2 – y I=1 j=1
Sumber: Tulus Tambunan (2003)

Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat pemerataan pendapatan.
Namun dalam studi studi empiris terutama dalam single country, ternyata kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Artinya ukuran ukuran diatas belum mencerminkan tingkat kesejahteraan. Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan Datt (1996) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di India, menunjukkan kedua negara tersebut dilihat dari ti ngkat pendapatan per kapita maupun ukuran Gini ( Gini ratio) menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun dilihat dari tingkat kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberpa negera Amerika Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat pendapatan perkapita tinggi. Ranis, Ravallion dan Datt memasukan faktor seperti tingkat kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, hak mendapatkan informasi, layanan kesehatan yang mudah dan murah, perasaan aman baik dalam mendapatkan pendidikan dan lapangan kerja, dan lain lain.
Intinya adalah dalam mengukur kemiskinan, banyak variabel non keuangan yang harus diperhatikan. Variabel keuangan (tingkat pendapatan) bukanlah satu satunya variabel yang harus dipakai dalam menghitung kemiskinan.
Namun kalau pengambil keputusan, lebih menitikberatkan pada cross variable study dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka berarti kemiskinan akan diatasi dengan cara meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas.

3.Kriteria Bank Dunia
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40% penduduk miskin menikmati antara 12-17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan
nasional dianggap cukup merata.


C. Cadangan Devisa yang Minimum

Cadangan devisa yang dimiliki Indonesia lebih banyak didominasi oleh dana dari pihak asing yang sifatnya jangka pendek. Kondisi Indonesia ini hendaknya bisa mengandalkan devisa yang berasal dari ekspor. Apabila nilai ekspor lebih tinggi dari impor maka cadangan devisa Indonesia akan bertambah.Kondisi ekonomi Indonesia saat ini memprihatinkan mengingat kasus Bank Century sampai saat ini belum terselesaikan. Kondisi ini akan mempengaruhi system perbankan apabila Pemerintah tidak memberikan keterangan yang jelas kepada semua pihak


Lonjakan penambahan devisa berasal dari hasil penjualan ekspor minyak bumi dan gas pemerintah. Ditambah lagi dengan masuknya aliran dana asing melalui sejumlah instrumen keuangan.

Sekalipun belum mencapai 100 miliar dollar AS, dengan jumlah cadangan devisa sekitar 63 dollar AS pada akhir 2009, Bank Indonesia (BI) menyebutkan sebagai rekor tertinggi dalam sejarah neraca pembayaran. Selain itu, dengan cadangan devisa sebanyak itu setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Informasi diperoleh, melonjaknya penambahan devisa berasal dari hasil penjualan ekspor minyak bumi dan gas pemerintah. Tak cuma itu, aliran masuk dana asing juga menambah cadangan devisa di akhir tahun.Namun, untuk tahun 2010, cadangan devisa bakal kembali menghadapi tekanan karena utang luar negeri yang jatuh tempo mencapai 64,2 triliun rupiah. Bahkan, khusus di akhir kuartal I 2010, nilai utang valas yang jatuh tempo 33,5 triliun rupiah.

Secara kasat mata, sebenarnya pada awal Desember lalu tekanan terhadap cadangan devisa cukup besar. Sekalipun nilai tukar menyentuh level psikologis 9.400 per dollar AS, tetapi tak cukup kuat membantu kocek bank sentral. Untung saja, di pekan terakhir Desember, terjadi aliran dana asing sehingga menggelembungkan cadangan devisa.

Kondisi cadangan devisa tersebut diharapkan akan meningkatkan sentimen positif terhadap kemampuan pembiayaan eksternal Indonesia.

Membaiknya kepercayaan investor global, tingginya imbal hasil investasi rupiah, serta tenaganya persepsi risiko mendorong aliran dana asing masuk ke perekonomian domesnk. Sampai dengan November 2009 aliran masuk dana asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) masing-masing tercatat
sebesar 680,56 juta dollar AS dan 1,04 miliar dollar AS. Hal tersebut menyebabkan posisi asing pada SBI dan SUN menjadi 5,29 miliar dollar AS dan 10,95 miliar dollar AS. Sementara itu, di pasar saham, pelaku asing mencatat jual neto sebesar 55,18 juta dollar AS. Dengan perkembangan tersebut keseimbangan supply demand di pasar valas relatif terjaga.

Itulah sebabnya, selain berharap peningkatan pendapatan dari ekspor, BI akan mengoptimalkan pengelolaan devisa dengan menempatkannya di berbagai instrumen keuangan dunia. Pengelolaan devisa harus optimal, tapi harus memperhatikan prinsip kehati-hatian sehingga tidak mengganggu balance sheet BI.

Beberapa waktu lalu, ada prinsip yang harus dijalankan BI dalam memarkir dananya dalam berbagai instrumen di mancanegara. Yakni, bank sentral mencari tempat investasi yang likuid sehingga bisa dicairkan sewaktu-wakru. Kedua, investasi ditempatkan pada aset yang aman dan tidak bermasalah- Ketiga, investasi juga memberikan imbal hasil optimal.

BI kesulitan untuk menempatkan dana di berbagai instrumen keuangan asing karena suku bunga di dunia masih rendah, sekitar 0 persen hingga 1 persen. Di sisi lain, sepanjang tahun ini, meningkatnya hasil ekspor dan maraknya dana asing yang masuk karena tingginya bunga aset dalam negeri mendongkrak jumlah cadangan devisa.

Namun, pemerintah harus mewaspadai aliran hot money atau dana portofolio jangka pendek yang diandalkan untuk menumpuk r-aHangan devisa. Kalau aliran hot money jadi andalan untuk cadangan devisa, bukan ekspor-impor, kita perlu mewaspadainya.

Untuk itu, kemampauan memupuk cadangan devisa melalui ekspor-impor diperlukan. Di sisi lain, perlu adanya pembatasan masuknya asing SBI.

Catatan cadangan devisa Indonesia sepanjang 2009:

* 30 Januari 2009 : US$ 50,869 miliar
* 27 Februari 2009 : US$ 50,564 miliar
* 31 Maret 2009 : US$ 54,840 miliar
* 30 April 2009 : US$ 56,565 miliar
* 29 Mei 2009 : US$ 57,934 miliar
* 30 Juni 2009 : US$ 57,6 miliar.
* 31 Juli 2009: US$ 57,418 miliar
* 31 Agustus 2009: US$ 57,943 miliar
* 30 September 2009: US$ 62,287 miliar
* 31 Oktober 2009: US$ 64,52 miliar
* 30 November 2009: US$ 65,844,16 miliar
* 31 Desember 2009: US$ 66,105 miliar

D.Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia
Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah ditempuh oleh kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketimpangan pembagian pendapatan atau ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik ini, termasuk banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembagian pendapatan terdapat suatu Trade-Off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam pembagian pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.
Disamping ketimpangan dalam pembagian pendapatan (ketimpangan relatif), perlu juga diperhatikan masalah lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu sampai seberapa jauh pertumbuhan ekonomi dapat berhasil dalam menghilangkan, sedikit-dikitnya mengurangi kemiskinan absolut.
Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Morris (1973) mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang bukan saja menghadapi kemerosotan dalam ketimpangan relatif, tetapi juga masalah kenaikan dalam kemiskinan absolut.
Dalam hubungan ini kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan dan pendidikan. Besarnya kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada di bawah “tingkat minimum” yang telah ditetapkan di atas.
Negara-negara berkembang ini dapat dibagi dalam tiga sub-kelompok, yaitu:
? Negara-negara berkembang yang berpendapatan rendah dengan Gnp per kapita di bawah US$ 350 (hargaUS$ tahun 1970) pada tahun 1975
? Negara-negara berkembang yang berpendapatan menengah dengan GNP per kapita anatara US$350-US$750 (harga US$ tahun 1970).
? Negara-negara berkembang yang berpendapatan tinggi yang pada tahun 1975 sudah mempunyai tingkat GNP per Kapita di atas US$750 (harga US$ tahun 1970).
Jika negara-negara berkembang dibedakan lebih lanjut menurut ketiga sub-kelompok ini, ternyata bahwa secara relative ketiga sub-kelompok ini memperlihatkan penurunan dan persentase golongan penduduk yang miskin selama kurun waktu 1960-1975, yaitu untuk sub-kelompok negara-negara berkembang yang berpendapatan rendah dari 61,7 persen sampai 50,7 persen; untuk sub-kelompok negara yang berpendapatan menengah dari 49,2 persen sampai 31 persen; dan sub-kelompok negara yang berpendapatan tinggi dari 24,9 persen sampai 12,6 persen.
Dengan demikian angka-angka di atas memperlihatkan bahwa masalah kemiskinan absolut justru paling parah di negara-negara berkembang yang paling miskin. Hal ini memang tidak begitu mengherankan, karena besarnya masalah kemiskinan absolut di sesuatu negara tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat pendapatan rata-rata (per kapita) dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan nasional tersebut.
Dengan demikian masalah kemiskinan absolut di negara-negara berkembang hanya dapat ditanggulangi secara tuntas melelui suatu kombinasi kebijaksanaan, yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, usaha pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan, dan penurunan dalam laju pertumbuhan penduduk.

0 komentar:

Posting Komentar

kommen bernada spam tidag akkn ditampilkan !!

 

Economy Poenya Data Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
Cake Illustration Copyrighted to Clarice