Kamis, 25 Februari 2010

Lain-Lain (4) tentang Economy


Ekonomi rakyat adalah “kegiatan ekonomi rakyat banyak” . Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar atau MNC pertanian, dan sejenisnya. Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya. Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat (banyak)” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ‘rakyat’ Indonesia.

Perspektif lain dari ekonomi rakyat dapat pula dilihat dengan menggunakan perspektif jargon: “ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Krisnamurthi, 2000). “Dari rakyat”, berarti kegiatan ekonomi itu berkaitan dengan penguasaan rakyat dan aksesibilitas rakyat terhadap sumberdaya ekonomi. Rakyat menguasai dan memiliki hak atas sumberdaya untuuk mendukung kegiatan produktif dan konsumtifnya. Dalam hal ini, sumberdaya ekonomi yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menjalankan penghidupan, baik sumberdaya alam, modal, tenaga kerja (termasuk tenaga kerjanya sendiri), ketrampilan, pengetahuan, juga sumberdaya sosial (kelompok, masyarakat) sumberdaya jaringan (‘network’), informasi, dan sebagainya.

“Oleh rakyat”, berarti proses produksi dan konsumsi dilakukan dan diputuskan oleh rakyat. Rakyat memiliki hak atas pengelolaan proses produktif dan konsumtif tersebut. Berkaitan dengan sumberdaya (produktif dan konsumtif), rakyat memiliki alternatif untuk memilih dan menentukan sistem pemanfaatan, seperti berapa banyak jumlah yang harus dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, bagaimana proses pemanfaatannya, bagaimana menjaga kelestarian bagi proses pemanfaatan berikutnya, dan sebagainya.

“Untuk rakyat”, berarti rakyat banyak merupakan ‘beneficiaries utama dari setiap kegiatan produksi dan konsumsi. Rakyat menerima manfaat, dan indikator kemantaatan paling utama adalah kepentingan rakyat.

Dalam hal ini perlu pula dikemukakan bahwa ekonomi rakyat dapat berkaitan “dengan siapa saja”, dalam arti kegiatan transaksi dapat dilakukan juga dengan “non-ekonomi-rakyat”. Juga tidak ada pembatasan mengenai besaran, jenis produk, sifat usaha, permodalan, dan sebagainya. Ekonomi rakyat tidak eksklusif tetapi inklusif dan terbuka. Walaupun demikian, sifat fundamental diatas telah pula menciptakan suatu sistem ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi, mekanisme transaksi, norma dan kesepakatan (“rule of the game”) yang khas, yang umumnya telah memfasilitasi ekonomi rakyat untuk survive dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakatnya.

Berdasarkan pemahaman diatas, maka ekonomi rakyat memiliki dimensi yang luas. Dalam ekonomi rakyat, pelakunya melakukan kegiatan produksi dan konsumsi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sendiri dan juga mereka yang bekerja menerima upah. Mereka adalah kegiatan usaha formal (berijin usaha, seperti koperasi atau CV atau bentuk badan hukum lain) dan juga sangat banyak yang informal atau nono-formal. Umumnya mereka berskala mikro dan kecil tetapi juga terdapat beberapa yang berskala menengah. Mereka memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan dan tidak hanya tergantung pada pihak lain (apakah itu bank, pemilik saham, atau entitas lain). Mereka bisa berada dalam kegiatan ekonomi tradisional tetapi juga tidak sedikit yang bergerak dalam sistem ekonomi modern. Mereka sebagian besar hanya beroperasi secara lokal, tetapi beberapa diantaranya juga memiliki kemampuan dan daya saing internasional yang handal. Mereka bisa melekat pada badan usaha pemerintah atau swasta. Dan yang terpenting adalah mereka berbasis pada manusia, keluarga, dan masyarakat; dari pada hanya sekedar angka-angka uang (modal) atau produk.

Dengan pemahaman diatas pula, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, 60 % diantaranya berada di daerah pedesaan, 65 % berusaha dibidang pertanian dan kegiatan lain yang terkait, dan menjadi basis dari 63 % konsumsi domestik, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) – yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar – menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil. Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini. Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) – terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas – maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan. Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar. Daya produktif kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ‘masal’ dari ekonomi riil – seperti mudik Lebaran dan naik haji. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, tetap hidupnya pasar-pasar tradisional pada saat krisis, dan sebagainya.

Namun demikian perspektif ‘dari, oleh, dan untuk rakyat” tersebut diatas juga mengetengahkan gambaran suram dari ekonomi rakyat di Indonesia. Penguasaan dan akses terhadap sumberdaya oleh rakyat (banyak) masih sangat banyak menghadapi masalah. Perlindungan hukum atas usaha masih lemah, hak atas tanah masih menjadi sesuatu yang sangat didambakan, posisi rebut-tawar (bargaining position) dalam penguasaan sumberdaya hampir selalu berada pada titik yang terendah. Bahkan sumberdaya yang tadinya dikuasai oleh rakyat, dengan mudah berpindah tangan. Kisah konversi lahan pertanian produktif milik rakyat menjadi lapangan golf, real estate mewah, dan kawasan industri bagi MNC merupakan bentuk ketidak-berdayaan penguasaan sumberdaya oleh rakyat. Sebaliknya saat lahan HPH yang telah digunduli dan tidak lagi produktif, “non-ekonomi-rakyat” meninggalkannya begitu saja sering kali justru dengan tinggalan masalah adanya konflik kepentingan diantara rakyat sendiri. Perbandingan ketersediaan sumberdaya ‘publik’ seperti listrik, air, dan telpon yang tidak seimbang antara alokasi untuk bagi kegiatan ekonomi rakyat dan non-ekonomi rakyat, juga menggambarkan situasi suram aspek “dari rakyat” tersebut.

Rakyat juga sering dibatasi kemampuannya untuk mengambil keputusan. Infrastruktur fisik dan kelembagaan yang dibangun cenderung mengarah pada penyeragaman proses pengambilan keputusan yang dirancang tidak oleh rakyat sendiri. Infrastruktur irigasi yang hanya memfasilitasi teknologi lahan sawah, misalnya, telah membatasi kemampuan petani mengembangka usahataninya. Tidak ada infrastruktur irigasi yang dirancang untuk memfasilitasi petani mengembangkan hortikultura atau peternakan. Kelembagaan koperasi yang diseragamkan menjadi KUD, atau hilangnya kelembagaan panen tradisional, atau hilangnya kelembagaan lumbung desa, semua akibat introduksi teknologi dan kelembagaan serba seragam, serta sistem keuangan yang “memaksa” rakyat menerima sistem yang mensyaratkan berbagai hal tidak sesuai dengan kondisi naturalnya, juga merupakan fakta-fakta lain yang menunjukkan kemampuan “oleh-rakyat” menjadi sangat terbatas. Rakyat juga memiliki akses yang sangat terbatas terhadap informasi dan teknologi, yang pada gilirannya membuat kemampuan pengambilan keputusan menjadi jauh lebih terbatas.

Aspek “untuk rakyat” menghadapi situasi yang lebih jauh tertinggal. Melalui sistem perbankan yang terpusat, selama 30 tahun dana yang disedot dari pedesaan 2,5 kali lebih besar dari dana yang disalurkan kembali ke pedesaan. Kontribusi pertanian dalam bentuk pangan yang murah dan tenaga kerja yang lebih terdidik, merupakan manfaat yang dirasakan oleh kegiatan-kegiatan “non-ekonomi-rakyat” sebagia bagian dari strategi “keunggulan komparatif” berbasis tenaga kerja murah. Mungkin tidak sekejam tanam paksa, tetapi pengembangan kegiatan ekonomi berbasis buruh murah telah berjalan lama sejak penjajahan hingga kini. Kemampuan sektor informal kota dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem distribusi kebutuhan pokok dengan murah dan efisien telah pula menjadi manfaat besar bagi “non-ekonomi-rakyat” dalam mengembangkan sistem kerja yang tidak memihak pada buruhnya.

Intinya, terdapat ketidak-adilan dalam pengembangan ekonomi. Non-ekonomi-rakyat telah mendapat banyak kemudahan dan dukungan, karena dipandang lebih sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kemudahan dan dukungan tersebut kemudian Kelompok “non-ekonomi-rakyat” telah banyak mendapat dukungan dari elite pemerintah, dan telah mengembangkan ketergantungannya pada kelompok tersebut sehingga menjadi kelompok “elite penguasa-pengusaha”. Dalam hal ini kelompok “non-ekonomi-rakyat” menjadi rentan terhadap perubahan yang terjadi pada elite penguasa tersebut. Pada saat yang sama sistem pengembangan yang penuh dengan “dukungan yang distortif” telah tersebut telah menjadikan “non-ekonomi-rakyat” menjadi lebih terkait dengan ekonomi global. Keterkaitan dengan pasar dunia, baik pasar barang, pasar uang, dan pasar modal; telah menyebabkan kegiatan “non-ekonomi-pasar” menjadi kegiatan dengan “banyak pengambil keputusan” dalam dunia yang tidak berbatas dan masih rentan. Sebaliknya, “ekonomi rakyat” yang tidak mendapat kesempatan untuk itu, memang mengalami sangat banyak kesulitan untuk berkembang dan memberi kesejahteraan bagi pelakunya. Dukungan yang relatif kecil dari pemerintah-penguasa telah menjadikan pelaku ekonomi rakyat tidak sangat tergantung pada kondisi elite. Kondisi yang “terbatas” terhadap akses ke pasar global juga sekaligus memberi ‘kekebalan’ kepada ekonomi rakyat untuk tidak mudah terpengaruh atas kondisi yang terjadi didunia internasional, atau bahkan yang terjadi secara nasional. Hal inilah yang kemudian menjadi preposisi dasar dalam melihat posisi ekonomi rakyat dalam krisis moneter yang belum lama terjadi dan masih terasa hingga saat ini.
Continue reading...

Lain-Lain (3) tentang Economy


KONSUMSI

Apa yang dimaksud dengan Konsumsi?
Dilihat dari arti Ekonomi, konsumsi adalah setiap tindakan untuk mengurangi atau menghabiskan guna ekonomi suatu benda.
Contoh: memakan makanan, memakai baju, mengendarai sepeda motor, menempati rumah.

Mengapa Manusia Mengkonsumsi sesuatu?
Tujuan dari konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memperoleh kepuasan dari pemenuhan tersebut. Sedangkan orang, badan usaha, atau organisasi yang memakai, menggunakan, mengurangi atau menghabiskan guna ekonomi suatu benda disebut sebagai konsumen.

Teori Konsumsi
Setiap orang atau keluarga mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Makin tinggi pendapatan, makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Sebaliknya, makin sedikit pendapatan, makin berkurang jumlah barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap, terpaksa tabungan digunakan akibatnya tabungan berkurang.
Dapat dicontohkan, misalnya seorang siswa diberikan uang saku oleh orang tuanya sebulan Rp. 100.000. Dia harus bisa mengatur keuangan tersebut agar cukup untuk satu bulan, mulai untuk uang transport, untuk jajan, membeli alat-alat tulis dan menyisihkan untuk menabung, diluar dari uang sekolah tentunya. Bila ternyata suatu ketika uang yang Rp. 100.000 tersebut tidak cukup, maka ia dapat menggunakan tabungannya untuk memenuhi keperluannya yang masih kurang.
Demikian pula kemampuan untuk investasi, bila tingkat bunga tinggi masyarakat terdorong untuk lebih banyak menabung dan mengurangi konsumsi. Sebaliknya, bila tingkat bunga rendah orang lebih cenderung menaikkan konsumsi.
Contoh sederhananya, pada saat terjadi krisis moneter tahun 1999 orang berlomba-lomba untuk menarik uangnya dari bank dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mengatasi hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menaikkan nilai suku bunga bank dengan harapan orang akan tergoda untuk menabungkan kembali uangnya ke bank karena tingkat suku bunga yang besar.

Apa yang dimaksud dengan Perilaku Konsumen?
Perilaku permintaan konsumen terhadap barang dan jasa akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: pendapatan, selera konsumen, dan harga barang, disaat kondisi yang lain tidak berubah (ceteris paribus). Perilaku konsumen ini didasarkan pada Teori Perilaku Konsumen yang menjelaskan bagaimana seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya, dapat membeli berbagai barang dan jasa sehingga tercapai kepuasan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Continue reading...

Lain-lain (2) tentang Economy


PRODUKSI

Apa yang dimaksud dengan Pengertian Produksi?

Pengertian produksi dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan atau menambah fedah ekonomi suatu benda dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan orang, badan usaha, atau organisasi yang menghasilkan barang dan jasa disebut produsen.
Contoh sederhana dari kegiatan produksi adalah produksi ikan asin. Di mana kegiatan produksi ikan asin dimulai dari menangkap ikan, menjemur ikan, pengasinan ikan, sampai dengan mengangkut dan memperdagangkan ikan. Contoh lain dari kegiatan produksi seperti pekerjaan akuntan, pekerjaan guru, dokter, penasehat hukum.


Apa Tujuan Yang hendak dicapai dari Produksi?

Tujuan dari produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam usaha mencapai kemakmuran. Kemakmuran akan tercapai bila konsumen memiliki daya beli yang cukup tinggi dan barang/jasa yang diperlukan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Bagaimana Proses Produksi berlangsung?

Di dalam suatu proses produksi ada hal-hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

* komposisi input yang bagaimana yang harus digunakan? bagaimana proses produksi berlangsung agar tingkat produksi maksimal?
* komposisi input yang bagaimana yang harus digunakan? bagaimana proses produksi dilaksanakan agar biaya produksi serendah mungkin?

Apa yang dimaksud dengan Teori Produksi?

Yang dimaksud dengan teori produksi adalah teori yang menjelaskan hubungan antara tingkat produksi dengan jumlah faktor-faktor produksi dan hasil penjualan outputnya.
Di dalam menganalisis teori produksi, kita mengenal 2 hal:

1. produksi jangka pendek, yaitu bila sebagian faktor produksi jumlahnya tetap dan yang lainnya berubah (misalnya jumlah modal tetap, sedangkan tenaga kerja berubah).
2. produksi jangka panjang, yaitu semua faktor produksi dapat berubah dan ditambah sesuai kebutuhan.

Apa yang dimaksud dengan Teori nilai guna yang makin menurun?

Di dalam teori produksi jangka pendek dikenal hukum hasil lebih yang semakin berkurang (the law of diminishing marginal return), yaitu bila jumlah tenaga kerja ditambah terus sedangkan lahan pertanian tidak bertambah, pada tahap awal nilai tambah produksinya mengalami kenaikan tetapi pada tahap akhir nilai tambahan produksinya mencapai negatif.
Contoh: Seorang petani memiliki 1 ha lahan pertanian, pada awalnya ia mengerjakannya sendiri. Karena ia mempunyai 2 orang anak, maka lahan yang dia miliki dia bagi dengan anak-anaknya. Jumlah pekerja yang mengerjakan lahan itu memang bertambah, tetapi hasil yang diperolehpun harus dibagi dengan ke-2 anaknya itu. Demikian seterusnya, bila si anak memiliki anak lagi (yang berarti cucunya), maka harus berbagi lagi dengan cucunya, begitu seterusnya.


Continue reading...

Lain-Lain (1) tentang Economy


Peran dan Tujuan dari Pengusaha

Apa Peran dan Tujuan dari Pengusaha?
Pada dasarnya pengusaha memiliki peran penting dalam kegiatan produksi dan distribusi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang mencukupi semua kebutuhan, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, maupun hiburan. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh pengusaha pada umumnya adalah bagaimana mencapai keuntungan yang maksimal.
Misalnya, seorang pengusaha berusaha memenuhi kebutuhan konsumsi gula pasir yang dibutuhkan konsumen. Maka ia berusaha memasok kebutuhan gula bagi konsumen dengan memproduksi sesuai kebutuhan konsumen dan berusaha untuk mendapatkan bahan baku gula (tebu) dari petani-petani tebu dengan harga yang relatif lebih murah, dengan tujuan untuk menekan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan.

Apa saja perilaku pengusaha yang menguntungkan masyarakat?
Berikut ini beberapa perilaku pengusaha yang mengutungkan masyarakat:

1. Memiliki keahlian pengusaha, berperilaku profesional sehingga mampu menciptakan hasil produksi yang sesuai dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat.
2. Mampu meningkatkan produksi dengan menentukan komposisi faktor-faktor produksi yang dapat meminimumkan biaya.
3. Berusaha dan mampu memperoleh keuntungan maksimal yang digunakan antara lain untuk meningkatkan dan masyarakat di sekitar perusahaan.
4. Menggunakan keuntungan perusahaan untuk memperluas usaha.
5. Patuh membayar pajak
6. Mampu mengolah limbah perusahaan, sehingga tidak menimbulkan pencemaran.


Apa saja perilaku Pengusaha yang merugikan masyarakat?
Berikut ini beberapa perilaku pengusaha yang merugikan masyarakat:

1. Tidak memiliki keahlian pengusaha
2. Fungsi-fungsi pengusaha, seperti penerapan fungsi manajemen planning, organizing, actuating and controlling tidak efektif dan terjadi pemborosan.
3. Biaya produksi lebih besar dari hasil penjualan, sehingga perusahaan menderita kerugian
4. Pajak tidak dibayar
5. Perolehan kredit dari bank tidak digunakan untuk menyehatkan perusahaan, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi.
6. Limbah industri perusahaan mencemari sungai dan udara sekitarnya.



Continue reading...

Pendapatan Nasional dan Inflasi


A. Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional negaranya, yaitu sebesar 40 juta pound (tahun 1665). Menurutnya pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun.

Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP) yaitu seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh Negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar. Pengertian pendapatan nasional adalah ukuran dari nilai total barang dan jasa yang dihasilkan suatu Negara dalam kurun waktu tertentu yang biasanya satu tahun yang dinyatakan dalam satu uang.

Konsep pendapatan nasional secara berturut-turut.

1. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)

Produk domestic bruto merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu Negara (domestik) selama 1 (satu) tahun. Termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah Negara yang bersangkutan seperti barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya.

2. Produk Nasional Bruto (Gross National Product)

Produk Nasional Bruto ata PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu Negara (nasional) selama 1 tahun. Dalam pengertian GNP ini, termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga Negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah Negara tersebut.

3. Produk Nasional Neto (Net National Product)

Produk Nasional Neto (NNP) adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan yang disebut juga replacement dari barang modal.

4. Pendapatan Nasional Neto (Net National Income)

Pendapatan Nasional Neto (NNI) adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurangi pajak tidak langsung.

5. Pendapatan Perseorangan (Personal Income)

Pendapatan perseorangan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan suatu kegiatan apapun. Penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa proses produksi tahun ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun yang lalu. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan terlebih dahulu NNI harus dikurangi dengan :

a. Pajak laba perusahaan, yaitu pajak yang dibayar oleh setiap badan kepada pemerintah,

b. Laba yang tidak dibagi, yaitu sejumlah laba yang tetap ditahan di dalam perusahaan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya keperluan perluasan perusahaan, dan

c. Iuran pension, yaitu iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan setiap perusahaan dengan masuk untuk dibayarkan kembali setelah tenaga kerja tersebut tidak lagi bekerja (pension). Termasuk iuran jaminan sosial dan iuran asuransi.

6. Pendapatan yang Dapat Dibelanjakan (Disposable Income)

Disposable income adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi.

B. Pendapatan per Kapita

1. Arti Pendapatan per Kapita dan Tingkat Pertumbuhan

Pendapatan rakyat Indonesia pertahun bisa diketahui dari besarnya pendapatan nasional dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia. Inilah yang dimaksud pendapatan per kapita atau pendapatan rata-rata rakyat Indonesia.

Pendapatan perkapita pada tahun tertentu adalah pendapatan rata-rata penduduk yang bersangkutan. Pendapatan perkapita terhitung secara berkala, biasanya per satu tahun.

2. Perkembangan Pendapatan per Kapita

Manfaat perhitungan pendapatan adalah sebagai berikut.

a. Sebagai data perbandingan tingkat kesejahteraan suatu Negara dengan Negara lain.

b. Sebagai perbandingan tingkat standar hidup suatu Negara dengan Negara lainnya

c. Sebagai data untuk kebijakan atau sebagai bahan baku pertimbangan mengambil kebijakan atau sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil langkah di bidang ekonomi

d. Sebagai data untuk melihat tingkat perbandingan kesejahteraan masyarakat suatu Negara dai tahun ke tahun.

C. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

1. Pengertian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pembangunan suatu daerah dapat berhasil dengan baik didukung oleh suatu perencanaan yang mantap sebagai dasar penentuan strategi, pengambilan keputusan, danevaluasi hasil-hasil pembangunan.

PDRB merupakan jumlah bruto yang dihasilkan suatu daerah dalam satu tahun tertentu. PDRB tidak seluruhnya menjadi pendapatan dari penduduk atau pemilik factor produksi yang tinggal di daerah tersebut sebab ada sebagian pendapatan yang diterima penduduk daerah lain.

D. Metode Penghitungan Pendapatan Nasional

Biasanya orang hanya akan menghitung PDB atau GDP karena GNP dapat diperoleh dengan menambahkan PDB atau GDP dengan net income from abroud. Untuk menghitung pendapatan nasional dapat digunakan tiga metode.

1. Pendekatan Produksi

Menghitung pendapatan nasional dengan pendekatan produksi adalah menjumlahkan produksi total masing-masing sector ekonomi. Atau, menjumlahkan secara keseluruhan nilai tambah (value added) dari semua sector ekonomi.

2. Pendekatan Pendapatan

Pendapatan nasional ditentukan dengan menjumlahkan pendapatan yang diperoleh para pekerja, pendapatan para pengusaha, dan pendapatan pemilik modal yang dapat berupa upah atau gaji, bunga modal, dan laba.

3. Pendekatan Pengeluaran

Berdasarkan metode ini, pendapatan nasional dapat dihitung dari seluruh pengelauran yang dilakukan oleh seluruh masyarakat. Pengeluaran masyarakat dapat dibedakan sebagai berikut.

a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga ( C )

b. Pengeluaran konsumsi pemerintah, baik pusat maupun daerah (G).

c. Pembentukan modal tetap bruto seperti persediaan barang-barang dan alat-alat produksi tahan lama (I)

d. Ekspor barang dan jasa (X)

e. Impor barang dan jasa sebagai pengurang (M)

E. Produk Domestik Bruto dengan Kemakmuran

Semakin tinggi produksi masyarakat, semakin tinggi pula pendapatan nasional. Perbandingan antara tingkat pendapatan nasional dengan banyaknya jumlah penduduk dan penerima pendapatan di kalangan penduduk menunjukkan tingkat kemakmuran.

Untuk mencapai tingkat kemakmuran suatu Negara dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis, yaitu suatau keadaan yang menggambarkan peningkatanp roduk domestic bruto dari masyarakat suatu Negara.

F. Manfaat Penghitungan Pendapatan Nasional

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan melewati tahap-tahap tertentu sebelum mencapai tingkat yang tertinggi. Pembangunan ekonomi juga harus ditandai dengan perubahan dalam struktur sosial dan sikap mental masyarakat.

Jadi, pembangunan ekonomi adalah sarana untuk meningkatkan produksi masyarakat sehingga dengan meningkatnya produksi akan semakin meningkatkan pula pendapatan nasional.

G. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi

1. Indeks Harga Konsumen (IHK)

Indeks harga konsumen adalah ukuran rata-rata perubahan harga dari suatu paket komoditas (commodity basket) dalam suatu kurun waktu tertentu atau antarwaktu.

Tujuan penghitungan IHK adalah sebagai berikut.

a. Mengetahui perkembangan harga barang dan jasa yang tergantung pada diagram timbangan IHK

b. Sebagai pedoman untuk menentukan suatu kebijaksanaan yang akan datang, terutama di bidang pembangunan ekonomi.

c. Sebagai penghitungan penyesuaian Upah Minimum Kabupaten (UMK)

d. Mempermudah pemantauan supply dan demand khususnya barang kebutuhan masyarakat yang ada di pasar.

2. Inflasi

Inflasi adalah suatu keadaan yang mengakibatkan naiknya harga secara umum atau suatu proses meningatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu).

Tiga aspek penting dalam definisi inflasi, yaitu sebagai berikut.

a. Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga yang terjadi/actual pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

b. Peningkatan harga tersebut berlangsung terus-menerus, yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja.

c. Mencakup pengertian tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang meningkat bukan hanya pada satu waktu atau beberapa komoditas saja.

Berdasarkan sumber timbulnya, inflasi dibedakan menjadi dua.

a. Inflasi yang berasal dari luar negeri, misalnya sebagai akibat terjadinya deficit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal.

b. Inflasi yang berasal dari luar negeri, yaitu inflasi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.

a. Sebab-sebab Timbulnya Inflasi

1) Tarikan Pemerintaan (Demand Pull Inflation)

Meningkatnya permintaan terhadap produksi menyebabkan harga faktor produksi meningkat.

2) Desakan Biaya (Cost Push Inflastion)

Biasanya pada batas demand inflation ada kecenderungan untuk meningkatkan produksi akibat meningkatnya permintaan dari masyarakat, akan tetapi kenaikan harga tersebut diikuti dengan menurunnya omzet penjualan sebagai akibat kelesuan pasar sekalipun harga meningkat.

3) Inflasi Campuran

Inflasi campuran adalah inflasi yang terjadi disebabkan oleh kombinasi (campuran) antara unsur inflasi tarikan permintaan dan inflasi dorongan biaya.

4) Inflasi Impor atau Imported Inflation

Inflasi jenis ini terjadi karena pengaruh inflasi dari luar negeri, yaitu akibat danya perdagangan antarnegara.

b. Pengukuran Laju Inflasi

Untuk menentukan berapa besar kenaikan harga barang terlebih dahulu dihitung angka indeks harga. Angka indeks harga adalah perbandingan harga-harga barang tertentu pada suatu periode yang berbeda atau pada periode yang sama dalam bentu persentase.

2. Cara Pengukuran laju Inflasi

a. GNP Deflator

GNP deflator adalah suatu indeks harga yang digunakan untuk menyesuaikan nilai uang dalam GNP guna mendapatkan nilai riil GNP.

b. Indeks Harga Konsumen (IHK)

c. Cara-cara Mengatasi Inflasi

1. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah segala kebijakan pemerintah di bidang moneter (keuangan) yang dilakukan melalui Bank Indonesia (bank sentral) tujuannya menjaga kestabilan moneter agar kesejahteraan rakyat meningkatkan.

2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah sejalan dengan kebijakan moneter, ada 3 (tiga) cara yang dilakukan dalam kebijakan fiscal, yaitu sebagai berikut.

a. Mengatur penerimaan dan pengeluaran pemerintah

b. Menaikkan tarif pajak.

c. Mengadakan pinjaman pemerintah.

3. Kebijakan Nonmoneter (Kebijakan Riil)

Kebijakan ini bisa ditempuh dengan cara berikut.

a. Menaikkan hasil produksi agar tingkat konsumsi bertambah, sehingga akan menambah uang beredar.

b. Kebijakan upah yang disepakati dengan serikat-serikat buruh agar tidak terjadi banyak tuntutan selama inflasi.

c. Pengawasan dan epnetapan harga karena pengawasan yang tidak intensif dapat menimbulkan pasar gelap (black market).

d. Dampak Inflasi

1) Dampak inflasi terhadap perekonomian sebagai berikut.

a) invenstasi berkurang akibat turunnya nilai uang yang mengurangi minat orang untuk menabung dan pertumbuhan output nasional dapat turun.

b) Mendorong tingkat bunga melalui lembaga keuangan/perbankan untuk menghindari merosotnya nilai uang.

c) Mendorong tindakan spekulatif.

Continue reading...

Berbagai Masalah Perekonomian di Indonesia


A. Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Dalam menghadapi keadaan Indonesia sekarang, percaturan perang didahulukan dan pembangunan ekonomi seolah-olah dikesampingkan sebagai sesuatu yang kurang urgensinya. Maka tidak mengherankanlah bahwa juga di kalangan khalayak-ramai tidak ada bayangan yang terang tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi, dan apa yang harus dikerjakannya sebagai sumbangan untuk pembangunan ekonomi ini. Aktivitasnya tidak kurang, di dalam lingkungannya sendiri, akan tetapi' sering keaktifan itu timbul dari kekecewaan terhadap usaha pembangunan pemerintah di daerahnya, sehingga ia merasa terpaksa mengambil inisiatif sendiri. Bagaimanapun juga, umumnya tidak ada perasaan pada khalayak-ramai bahwa ia menjadi bagian dari suatu usaha bersama yang meliputi baik pemerintah maupun dirinya sendiri untuk membangun negara kita.


Oleh sebab itu maka timbullah kesan umum bahwa pekita
mbangunan ekonomi ini seolah-olah setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak dapat berangkat dan macet. Padahal, pembangunan ekonomi itu seharusnya merupakan penjelmaan suatu pergerakan rakyat yang dibimbing secara sadar oleh Pemerintah.

Sebabnya, bermacam-macam. Ada sebab-sebab yang harus dicari di bidang politik, oleh sebab memang ada berbagai-bagai syarat politik yang harus dipenuhi dulu sebelum suatu bangsa dapat menempuh jalan ke arah pembangunan ekonominya. Menurut pandangan kami beberapa sebab yang penting, di luar lapangan politik ini, ialah kekurangan pengetahuan tentang arti pembangunan ekonomi untuk negara kita, sehingga umumnya kurang dirasakan urgensinya. Di samping itu ada juga kekurangan pengetahuan tentang apa yang dituju dengan pembangunan ekonomi ini di dalam akibat-akibatnya untuk kehidupan masing-masing orang di dalam lingkungannya sendiri. Ada juga kekuranginsafan bahwa proses pembangunan ekonomi ini ialah suatu proses yang meliputi kehidupan kita di dalam segala lapangan. Begitu pun kita belum secara sistematis menghadapi rintangan-rintangan di dalam masyarakat kita sendiri dalam menempuh jalan ke arah pembangunan ekonomi ini, yang berakar pada kebudayaan kita sendiri. Oleh sebab itu perlu kita tinjau masalah pembangunan ekonomi di dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa kita, atau dengan kata-kata lain, dalam rangka kebudayaan kita.

Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa masalah pembangunan ekonomi di Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. Kemiskinan dan Keterbelakangan

Faktor yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di Indonesia seringkali karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural disebut "kemiskinan struktural". Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal.

Persentasi Kemiskinan di Indonesia

Persentasi kemiskinan di Indonesia sejak tahun 2001 terus mengalami penurunan hingga tahun 2005, kemudian meningkat kembali di tahun 2006 an kembali turun di tahun 2007.
Angka prosentase kemiskinan di Indonesia berturut-turut dari 2001 hingga 2007 adalah 18,40%, 18,20%, 17,42%, 16,66%, 15,97%, 17,75% dan 16,58%.

Secara umum persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 yaitu sebesar 1,82%.

Persentasi kemiskinan di Indonesia sejak tahun 2001 terus mengalami penurunan hingga tahun 2005, kemudian meningkat kembali di tahun 2006 an kembali turun di tahun 2007.
Angka prosentase kemiskinan di Indonesia berturut-turut dari 2001 hingga 2007 adalah 18,40%, 18,20%, 17,42%, 16,66%, 15,97%, 17,75% dan 16,58%.

Secara umum persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 yaitu sebesar 1,82%.

Kemiskinan di Indonesia tampak pada gambar di bawah ini :




Faktor kemiskinan berpengaruh besar pada kurangnya dukungan terhadap pembangunan ekonomi yang berhasil. oleh karena iu, inisiatif pemerintah untuk mengentaskan penduduk miskin yang jumlahnya masih relatif besar tersebut adalah relevan.
Inisiatif pemerintah ini diwujudkan dalam Intruksi Presiden ( INPRES ) tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan atau INPRES Desa Tertinggal atau IDT dan P3DT untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP ) untuk mengentaskan kemiskinan di perkotaan serta program Jaring Pengaman Sosial ( JPS ) untuk mengatasi masalah kemiskinan yang diakibatkan karena krisis moneter.

2. Pengangguran



Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997
akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia
khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai
reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16
bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya
menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja
dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat,
Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir
Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana
sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian
yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap
sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang.
Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran
jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita
mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5
sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi
negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%.

Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap
85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996
perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar
karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998,
pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun
1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang
diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter
di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN,
Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan
asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan
berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan.

Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang
semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran
atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta
orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97
juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran
ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001
mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan
ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah
perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna
menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta
untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.

Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita
memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6
persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru.
Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu
angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang
rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk
memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita
terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk
mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam
negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini
bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah
dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah
(undervalue) terhadap dolar.
Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah
jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang
semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa,
dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi
yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor
asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah
menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya
akan berakibat capital outflow.

3. Berbagai Ketimpangan Hasil Pembangunan

Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya; sumberdaya manusia,, fisik, teknologi dan capital. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu ketimpangan pembangunan. Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era desentralisasi diterapkan di Indonesia. Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sector pembangunan.

Yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan

B. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia

Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya.


Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.

Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan bumi Indonesia yang sangat kaya, merupakan bahan (ingredient) yang utama untuk membuat negara menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini terlihat pada hasil hasil Pelita III sampai dengan Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 7% - 8% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk yang tinggi. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat julukan “Macan Asia”.

Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan kemiskinan. Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan pada menjadi 14% pada tahun 2004. Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Di Indonesia pada awal orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, Khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sector-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan “Trickle Down Effects”. Didasarkan pada pemikiran tersebut, pada awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya lebih tersedia di pulau jawa, khususnya Jakarta, dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Pembangunan saat itu juga hanya terpusatkan pada sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menyumbang nilai pendapatan nasional yang tinggi. Pemerintah saat itu percaya bahwa nantinya hasil dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Ada berbagai cara untuk mengetahui prestasi pembangunan suatu negara yaitu dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi. Dalam pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Dalam aspek pendapatan digunakan konsep pendapatan perkapita, namun hal tersebut belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan karena tidak mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga tidak memantau unsur keadilan atau kemerataan. Untuk itu diperlukan data mengenai kemerataan distribusi pendapatan dimana perhatiannya bukan hanya pada distribusi pendapatan nasional tapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

Krisis yang terjadi secara mendadak dan diluar perkiraan pada akhir dekade 1990-an merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pada saat yang sama, kondisi kemiskinan menjadi semakin parah, karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan.

Ada beberapa cara yang dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kemerataan distribusi pendapatan, diantaranya yaitu :

1.Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan tidak merata.

2.Indeks atau Rasio Gini
Gini ratio merupakan alat ukur yang umum dipergunakan dalam studi empiris, yaitu dengan formula:

1 n n
Gini = ---------- å å ½yi - yj ½
2n2 – y I=1 j=1
Sumber: Tulus Tambunan (2003)

Nilai Gini antara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin tidak sempurna tingkat pemerataan pendapatan.
Namun dalam studi studi empiris terutama dalam single country, ternyata kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Artinya ukuran ukuran diatas belum mencerminkan tingkat kesejahteraan. Studi yang dilakukan oleh Ranis (1977) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di Republik Cina dan Ravallion dan Datt (1996) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa di India, menunjukkan kedua negara tersebut dilihat dari ti ngkat pendapatan per kapita maupun ukuran Gini ( Gini ratio) menunjukkan tingkat kemikskinan yang cukup parah. Namun dilihat dari tingkat kesejahteraan, kedua negara tersebut masih lebih baik dari beberpa negera Amerika Latin yang mempunyai tingkat Gini ratio rendah dan tingkat pendapatan perkapita tinggi. Ranis, Ravallion dan Datt memasukan faktor seperti tingkat kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, hak mendapatkan informasi, layanan kesehatan yang mudah dan murah, perasaan aman baik dalam mendapatkan pendidikan dan lapangan kerja, dan lain lain.
Intinya adalah dalam mengukur kemiskinan, banyak variabel non keuangan yang harus diperhatikan. Variabel keuangan (tingkat pendapatan) bukanlah satu satunya variabel yang harus dipakai dalam menghitung kemiskinan.
Namun kalau pengambil keputusan, lebih menitikberatkan pada cross variable study dalam mengatasi masalah kemiskinan, maka berarti kemiskinan akan diatasi dengan cara meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang luas.

3.Kriteria Bank Dunia
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat apabila 40% penduduk miskin menikmati antara 12-17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan rendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak dan distribusi pendapatan
nasional dianggap cukup merata.


C. Cadangan Devisa yang Minimum

Cadangan devisa yang dimiliki Indonesia lebih banyak didominasi oleh dana dari pihak asing yang sifatnya jangka pendek. Kondisi Indonesia ini hendaknya bisa mengandalkan devisa yang berasal dari ekspor. Apabila nilai ekspor lebih tinggi dari impor maka cadangan devisa Indonesia akan bertambah.Kondisi ekonomi Indonesia saat ini memprihatinkan mengingat kasus Bank Century sampai saat ini belum terselesaikan. Kondisi ini akan mempengaruhi system perbankan apabila Pemerintah tidak memberikan keterangan yang jelas kepada semua pihak


Lonjakan penambahan devisa berasal dari hasil penjualan ekspor minyak bumi dan gas pemerintah. Ditambah lagi dengan masuknya aliran dana asing melalui sejumlah instrumen keuangan.

Sekalipun belum mencapai 100 miliar dollar AS, dengan jumlah cadangan devisa sekitar 63 dollar AS pada akhir 2009, Bank Indonesia (BI) menyebutkan sebagai rekor tertinggi dalam sejarah neraca pembayaran. Selain itu, dengan cadangan devisa sebanyak itu setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Informasi diperoleh, melonjaknya penambahan devisa berasal dari hasil penjualan ekspor minyak bumi dan gas pemerintah. Tak cuma itu, aliran masuk dana asing juga menambah cadangan devisa di akhir tahun.Namun, untuk tahun 2010, cadangan devisa bakal kembali menghadapi tekanan karena utang luar negeri yang jatuh tempo mencapai 64,2 triliun rupiah. Bahkan, khusus di akhir kuartal I 2010, nilai utang valas yang jatuh tempo 33,5 triliun rupiah.

Secara kasat mata, sebenarnya pada awal Desember lalu tekanan terhadap cadangan devisa cukup besar. Sekalipun nilai tukar menyentuh level psikologis 9.400 per dollar AS, tetapi tak cukup kuat membantu kocek bank sentral. Untung saja, di pekan terakhir Desember, terjadi aliran dana asing sehingga menggelembungkan cadangan devisa.

Kondisi cadangan devisa tersebut diharapkan akan meningkatkan sentimen positif terhadap kemampuan pembiayaan eksternal Indonesia.

Membaiknya kepercayaan investor global, tingginya imbal hasil investasi rupiah, serta tenaganya persepsi risiko mendorong aliran dana asing masuk ke perekonomian domesnk. Sampai dengan November 2009 aliran masuk dana asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) masing-masing tercatat
sebesar 680,56 juta dollar AS dan 1,04 miliar dollar AS. Hal tersebut menyebabkan posisi asing pada SBI dan SUN menjadi 5,29 miliar dollar AS dan 10,95 miliar dollar AS. Sementara itu, di pasar saham, pelaku asing mencatat jual neto sebesar 55,18 juta dollar AS. Dengan perkembangan tersebut keseimbangan supply demand di pasar valas relatif terjaga.

Itulah sebabnya, selain berharap peningkatan pendapatan dari ekspor, BI akan mengoptimalkan pengelolaan devisa dengan menempatkannya di berbagai instrumen keuangan dunia. Pengelolaan devisa harus optimal, tapi harus memperhatikan prinsip kehati-hatian sehingga tidak mengganggu balance sheet BI.

Beberapa waktu lalu, ada prinsip yang harus dijalankan BI dalam memarkir dananya dalam berbagai instrumen di mancanegara. Yakni, bank sentral mencari tempat investasi yang likuid sehingga bisa dicairkan sewaktu-wakru. Kedua, investasi ditempatkan pada aset yang aman dan tidak bermasalah- Ketiga, investasi juga memberikan imbal hasil optimal.

BI kesulitan untuk menempatkan dana di berbagai instrumen keuangan asing karena suku bunga di dunia masih rendah, sekitar 0 persen hingga 1 persen. Di sisi lain, sepanjang tahun ini, meningkatnya hasil ekspor dan maraknya dana asing yang masuk karena tingginya bunga aset dalam negeri mendongkrak jumlah cadangan devisa.

Namun, pemerintah harus mewaspadai aliran hot money atau dana portofolio jangka pendek yang diandalkan untuk menumpuk r-aHangan devisa. Kalau aliran hot money jadi andalan untuk cadangan devisa, bukan ekspor-impor, kita perlu mewaspadainya.

Untuk itu, kemampauan memupuk cadangan devisa melalui ekspor-impor diperlukan. Di sisi lain, perlu adanya pembatasan masuknya asing SBI.

Catatan cadangan devisa Indonesia sepanjang 2009:

* 30 Januari 2009 : US$ 50,869 miliar
* 27 Februari 2009 : US$ 50,564 miliar
* 31 Maret 2009 : US$ 54,840 miliar
* 30 April 2009 : US$ 56,565 miliar
* 29 Mei 2009 : US$ 57,934 miliar
* 30 Juni 2009 : US$ 57,6 miliar.
* 31 Juli 2009: US$ 57,418 miliar
* 31 Agustus 2009: US$ 57,943 miliar
* 30 September 2009: US$ 62,287 miliar
* 31 Oktober 2009: US$ 64,52 miliar
* 30 November 2009: US$ 65,844,16 miliar
* 31 Desember 2009: US$ 66,105 miliar

D.Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia
Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah ditempuh oleh kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat banyak orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan dalam ketimpangan pembagian pendapatan atau ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik ini, termasuk banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembagian pendapatan terdapat suatu Trade-Off, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam pembagian pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.
Disamping ketimpangan dalam pembagian pendapatan (ketimpangan relatif), perlu juga diperhatikan masalah lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu sampai seberapa jauh pertumbuhan ekonomi dapat berhasil dalam menghilangkan, sedikit-dikitnya mengurangi kemiskinan absolut.
Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Morris (1973) mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang bukan saja menghadapi kemerosotan dalam ketimpangan relatif, tetapi juga masalah kenaikan dalam kemiskinan absolut.
Dalam hubungan ini kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan dan pendidikan. Besarnya kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada di bawah “tingkat minimum” yang telah ditetapkan di atas.
Negara-negara berkembang ini dapat dibagi dalam tiga sub-kelompok, yaitu:
? Negara-negara berkembang yang berpendapatan rendah dengan Gnp per kapita di bawah US$ 350 (hargaUS$ tahun 1970) pada tahun 1975
? Negara-negara berkembang yang berpendapatan menengah dengan GNP per kapita anatara US$350-US$750 (harga US$ tahun 1970).
? Negara-negara berkembang yang berpendapatan tinggi yang pada tahun 1975 sudah mempunyai tingkat GNP per Kapita di atas US$750 (harga US$ tahun 1970).
Jika negara-negara berkembang dibedakan lebih lanjut menurut ketiga sub-kelompok ini, ternyata bahwa secara relative ketiga sub-kelompok ini memperlihatkan penurunan dan persentase golongan penduduk yang miskin selama kurun waktu 1960-1975, yaitu untuk sub-kelompok negara-negara berkembang yang berpendapatan rendah dari 61,7 persen sampai 50,7 persen; untuk sub-kelompok negara yang berpendapatan menengah dari 49,2 persen sampai 31 persen; dan sub-kelompok negara yang berpendapatan tinggi dari 24,9 persen sampai 12,6 persen.
Dengan demikian angka-angka di atas memperlihatkan bahwa masalah kemiskinan absolut justru paling parah di negara-negara berkembang yang paling miskin. Hal ini memang tidak begitu mengherankan, karena besarnya masalah kemiskinan absolut di sesuatu negara tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat pendapatan rata-rata (per kapita) dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan nasional tersebut.
Dengan demikian masalah kemiskinan absolut di negara-negara berkembang hanya dapat ditanggulangi secara tuntas melelui suatu kombinasi kebijaksanaan, yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, usaha pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan, dan penurunan dalam laju pertumbuhan penduduk.

Continue reading...
 

Economy Poenya Data Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
Cake Illustration Copyrighted to Clarice