Perspektif lain dari ekonomi rakyat dapat pula dilihat dengan menggunakan perspektif jargon: “ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Krisnamurthi, 2000). “Dari rakyat”, berarti kegiatan ekonomi itu berkaitan dengan penguasaan rakyat dan aksesibilitas rakyat terhadap sumberdaya ekonomi. Rakyat menguasai dan memiliki hak atas sumberdaya untuuk mendukung kegiatan produktif dan konsumtifnya. Dalam hal ini, sumberdaya ekonomi yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menjalankan penghidupan, baik sumberdaya alam, modal, tenaga kerja (termasuk tenaga kerjanya sendiri), ketrampilan, pengetahuan, juga sumberdaya sosial (kelompok, masyarakat) sumberdaya jaringan (‘network’), informasi, dan sebagainya.
“Oleh rakyat”, berarti proses produksi dan konsumsi dilakukan dan diputuskan oleh rakyat. Rakyat memiliki hak atas pengelolaan proses produktif dan konsumtif tersebut. Berkaitan dengan sumberdaya (produktif dan konsumtif), rakyat memiliki alternatif untuk memilih dan menentukan sistem pemanfaatan, seperti berapa banyak jumlah yang harus dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, bagaimana proses pemanfaatannya, bagaimana menjaga kelestarian bagi proses pemanfaatan berikutnya, dan sebagainya.
“Untuk rakyat”, berarti rakyat banyak merupakan ‘beneficiaries utama dari setiap kegiatan produksi dan konsumsi. Rakyat menerima manfaat, dan indikator kemantaatan paling utama adalah kepentingan rakyat.
Dalam hal ini perlu pula dikemukakan bahwa ekonomi rakyat dapat berkaitan “dengan siapa saja”, dalam arti kegiatan transaksi dapat dilakukan juga dengan “non-ekonomi-rakyat”. Juga tidak ada pembatasan mengenai besaran, jenis produk, sifat usaha, permodalan, dan sebagainya. Ekonomi rakyat tidak eksklusif tetapi inklusif dan terbuka. Walaupun demikian, sifat fundamental diatas telah pula menciptakan suatu sistem ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi, mekanisme transaksi, norma dan kesepakatan (“rule of the game”) yang khas, yang umumnya telah memfasilitasi ekonomi rakyat untuk survive dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakatnya.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka ekonomi rakyat memiliki dimensi yang luas. Dalam ekonomi rakyat, pelakunya melakukan kegiatan produksi dan konsumsi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sendiri dan juga mereka yang bekerja menerima upah. Mereka adalah kegiatan usaha formal (berijin usaha, seperti koperasi atau CV atau bentuk badan hukum lain) dan juga sangat banyak yang informal atau nono-formal. Umumnya mereka berskala mikro dan kecil tetapi juga terdapat beberapa yang berskala menengah. Mereka memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan dan tidak hanya tergantung pada pihak lain (apakah itu bank, pemilik saham, atau entitas lain). Mereka bisa berada dalam kegiatan ekonomi tradisional tetapi juga tidak sedikit yang bergerak dalam sistem ekonomi modern. Mereka sebagian besar hanya beroperasi secara lokal, tetapi beberapa diantaranya juga memiliki kemampuan dan daya saing internasional yang handal. Mereka bisa melekat pada badan usaha pemerintah atau swasta. Dan yang terpenting adalah mereka berbasis pada manusia, keluarga, dan masyarakat; dari pada hanya sekedar angka-angka uang (modal) atau produk.
Dengan pemahaman diatas pula, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, 60 % diantaranya berada di daerah pedesaan, 65 % berusaha dibidang pertanian dan kegiatan lain yang terkait, dan menjadi basis dari 63 % konsumsi domestik, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) – yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar – menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil. Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini. Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) – terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas – maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan. Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar. Daya produktif kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ‘masal’ dari ekonomi riil – seperti mudik Lebaran dan naik haji. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, tetap hidupnya pasar-pasar tradisional pada saat krisis, dan sebagainya.
Namun demikian perspektif ‘dari, oleh, dan untuk rakyat” tersebut diatas juga mengetengahkan gambaran suram dari ekonomi rakyat di Indonesia. Penguasaan dan akses terhadap sumberdaya oleh rakyat (banyak) masih sangat banyak menghadapi masalah. Perlindungan hukum atas usaha masih lemah, hak atas tanah masih menjadi sesuatu yang sangat didambakan, posisi rebut-tawar (bargaining position) dalam penguasaan sumberdaya hampir selalu berada pada titik yang terendah. Bahkan sumberdaya yang tadinya dikuasai oleh rakyat, dengan mudah berpindah tangan. Kisah konversi lahan pertanian produktif milik rakyat menjadi lapangan golf, real estate mewah, dan kawasan industri bagi MNC merupakan bentuk ketidak-berdayaan penguasaan sumberdaya oleh rakyat. Sebaliknya saat lahan HPH yang telah digunduli dan tidak lagi produktif, “non-ekonomi-rakyat” meninggalkannya begitu saja sering kali justru dengan tinggalan masalah adanya konflik kepentingan diantara rakyat sendiri. Perbandingan ketersediaan sumberdaya ‘publik’ seperti listrik, air, dan telpon yang tidak seimbang antara alokasi untuk bagi kegiatan ekonomi rakyat dan non-ekonomi rakyat, juga menggambarkan situasi suram aspek “dari rakyat” tersebut.
Rakyat juga sering dibatasi kemampuannya untuk mengambil keputusan. Infrastruktur fisik dan kelembagaan yang dibangun cenderung mengarah pada penyeragaman proses pengambilan keputusan yang dirancang tidak oleh rakyat sendiri. Infrastruktur irigasi yang hanya memfasilitasi teknologi lahan sawah, misalnya, telah membatasi kemampuan petani mengembangka usahataninya. Tidak ada infrastruktur irigasi yang dirancang untuk memfasilitasi petani mengembangkan hortikultura atau peternakan. Kelembagaan koperasi yang diseragamkan menjadi KUD, atau hilangnya kelembagaan panen tradisional, atau hilangnya kelembagaan lumbung desa, semua akibat introduksi teknologi dan kelembagaan serba seragam, serta sistem keuangan yang “memaksa” rakyat menerima sistem yang mensyaratkan berbagai hal tidak sesuai dengan kondisi naturalnya, juga merupakan fakta-fakta lain yang menunjukkan kemampuan “oleh-rakyat” menjadi sangat terbatas. Rakyat juga memiliki akses yang sangat terbatas terhadap informasi dan teknologi, yang pada gilirannya membuat kemampuan pengambilan keputusan menjadi jauh lebih terbatas.
Aspek “untuk rakyat” menghadapi situasi yang lebih jauh tertinggal. Melalui sistem perbankan yang terpusat, selama 30 tahun dana yang disedot dari pedesaan 2,5 kali lebih besar dari dana yang disalurkan kembali ke pedesaan. Kontribusi pertanian dalam bentuk pangan yang murah dan tenaga kerja yang lebih terdidik, merupakan manfaat yang dirasakan oleh kegiatan-kegiatan “non-ekonomi-rakyat” sebagia bagian dari strategi “keunggulan komparatif” berbasis tenaga kerja murah. Mungkin tidak sekejam tanam paksa, tetapi pengembangan kegiatan ekonomi berbasis buruh murah telah berjalan lama sejak penjajahan hingga kini. Kemampuan sektor informal kota dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem distribusi kebutuhan pokok dengan murah dan efisien telah pula menjadi manfaat besar bagi “non-ekonomi-rakyat” dalam mengembangkan sistem kerja yang tidak memihak pada buruhnya.
Intinya, terdapat ketidak-adilan dalam pengembangan ekonomi. Non-ekonomi-rakyat telah mendapat banyak kemudahan dan dukungan, karena dipandang lebih sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kemudahan dan dukungan tersebut kemudian Kelompok “non-ekonomi-rakyat” telah banyak mendapat dukungan dari elite pemerintah, dan telah mengembangkan ketergantungannya pada kelompok tersebut sehingga menjadi kelompok “elite penguasa-pengusaha”. Dalam hal ini kelompok “non-ekonomi-rakyat” menjadi rentan terhadap perubahan yang terjadi pada elite penguasa tersebut. Pada saat yang sama sistem pengembangan yang penuh dengan “dukungan yang distortif” telah tersebut telah menjadikan “non-ekonomi-rakyat” menjadi lebih terkait dengan ekonomi global. Keterkaitan dengan pasar dunia, baik pasar barang, pasar uang, dan pasar modal; telah menyebabkan kegiatan “non-ekonomi-pasar” menjadi kegiatan dengan “banyak pengambil keputusan” dalam dunia yang tidak berbatas dan masih rentan. Sebaliknya, “ekonomi rakyat” yang tidak mendapat kesempatan untuk itu, memang mengalami sangat banyak kesulitan untuk berkembang dan memberi kesejahteraan bagi pelakunya. Dukungan yang relatif kecil dari pemerintah-penguasa telah menjadikan pelaku ekonomi rakyat tidak sangat tergantung pada kondisi elite. Kondisi yang “terbatas” terhadap akses ke pasar global juga sekaligus memberi ‘kekebalan’ kepada ekonomi rakyat untuk tidak mudah terpengaruh atas kondisi yang terjadi didunia internasional, atau bahkan yang terjadi secara nasional. Hal inilah yang kemudian menjadi preposisi dasar dalam melihat posisi ekonomi rakyat dalam krisis moneter yang belum lama terjadi dan masih terasa hingga saat ini.